Apabila istri yang disetubuhi itu tidak senang atau tidak mengetahuinya, maka tidak ada kafarat (denda) baginya, sebagaimana sabda Rasulullah:
"Diberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan serta apa-
apa yang dipaksakan kepada mereka."
Akan tetapi, apabila ia merasa senang atasnya, maka ia harus membayar
setengah dinar emas murni dalam bentuk apapun dan menyerahkannya kepada orang-orang miskin, seperti halnya pada ketentuan kafarat-kafarat yang lain.
Wallahu A'lam Bishshawab.
Hukum kafarat dalam masalah haid sama seperti hukum kafarat pada nifas.
Wanita hamil tidak mengalami masa haid
Apabila wanita muslimah yang sedang hamil mengeluarkan darah, maka berarti itu merupakan darah kotor dan bukan darah haid. Demikian dikatakan oleh Sa'id bin Al-Musayyib dan Al-Auza'i yang diriwayatkan dari 'Aisyah. Yang benar, menurut sumber dari 'Aisyah, apabila seorang wanita hamil mengeluarkan darah, maka tidak diwajibkan atasnya mengerjakan shalat. Yaitu apabila ia mengeluarkan darah pada satu atau dua hari sebelum melahirkan. Karena, yang demikian itu termasuk darah nifas, sehingga ia harus meninggalkan kewajiban shalat.
Sementara Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat: “Darah yang dikeluarkannya itu adalah darah haid." Pendapat ini juga diriwayatkan dari Az-Zuhri, Qatadah dan Ishaq. Karena, itu merupakan darah yang datang secara tiba-tiba, sehingga menjadi darah haid seperti halnya wanita-wanita yang tidak hamil.
Hukum nifas sama seperti hukum yang berlaku pada haid, baik menge-
nai amalan yang diharamkan maupun yang digugurkan. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat. Yang menjadi perbedaan adalah mengenai kewajiban membayar kafarat atas persetubuhan yang dilakukan terhadap istri yang tengah menjalani masa nifas, sebagaimana halnya dengan wanita yang sedang haid.
Walau demikian, diperbolehkan mencumbui istri hamil yang menger-
luarkan darah seperti ini pada bagian-bagian selain kemaluan. Karena, darah yang keluar tersebut adalah darah haid yang terhenti karena proses kehamilan, kemudian darah itu keluar, sehingga hukumnya ditetapkan demikian. Kecuali dalam masa 'iddah, karena 'iddah itu dihitung dengan quru' sedangkan nifas tidak. Selain itu, karena masa iddah menjadi selesai setelah proses kehamilan berakhir.
Istri pada masa mengalami istihadhah yang disetubuhi suaminya
Bagi wanita yang mengalami istihadhah, ia diharuskan mandi sama seperti mandinya wanita yang selesai dari menjalani masa haidnya dan kemudian berwudhu' pada setiap kali akan mengerjakan shalat. Demikian menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafi'i yang didasarkan riwayat Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana ia bercerita:
"Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah seraya bertanya: Wahai Rasulullah, aku sedang mengalami istihadhah dan tidak per-
nah suci, apakah aku harus meninggalkan shalatku? Nabi menjawab: Sesungguhnya yang keluar itu adalah darah yang mengalir dari pembuluh darah dan bukan darah haid. Sedang apabila datang waktu haidmu. maka tinggalkan shalat dan apabila masa haidmu telah selesai, maka mandi dan dirikanlah shalat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Mengenai masalah ini penulis berpendapat, bahwa seorang isteri yang sedang mengalami istihadhah diperbolehkan berhubungan badan dengan suaminya. Sedang untuk mengetahui darah yang keluar itu istihadhah atau haid, wanita muslimah dapat melihatnya dari perbedaan dua warna darah, haid dan
istihadhah. Akan tetapi, ia juga diperbolehkan untuk meninggalkan shalat dan suaminya pun diperbolehkan untuk tidak menyetubuhinya.
Apabila ia tidak bisa membedakan antara kedua warna darah tersebut,
maka hendaklah ia melihat, apakah darah yang keluar mempunyai waktu tertentu, sehingga ia boleh menahan diri selama masa itu berlangsung. Jika istihadhah itu dimulai pada diri seorang muslimah sejak awal dari masa haid pertamanya berakhir dan darah itu terus mengalir, maka hendaklah ia menanyakan kepada salah satu teman wanitanya.
Apabila seorang wanita lupa atas hari haidnya
Apabila seorang wanita muslimah tidak ingat jumlah hari haidnya, maka
ia boleh mandi setelah enam atau tujuh hari dan selanjutnya boleh mengerjakan shalat serta puasa. Imam Syafi'i mengatakan: "Dalam hal ini, secara yakin dapat dikatakan, bahwa istri atau wanita tersebut tidak sedang haid. Sementara terhadap hari-hari yang diragukannya itu ia harus mandi pada setiap akan mengerjakan shalat dan boleh berpuasa. Akan tetapi, tidak boleh disetubuhi oleh suaminya. Adapun pendapat yang pertama adalah lebih benar, karena sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
"Sesungguhnya darah itu keluar akibat dari hentakan syaitan. Jalanilah haid itu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah mendapati dirimu berada dalam keadaan bersih, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari (slang malam), dan puasalah, begitulah yang boleh kamu lakukan. Di samping itu, lakukanlah sebagai mana apa yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa haid pada setiap bulannya. Juga sebagaimana mereka bersuci pada hari penghabisan dari masa haidnya.” HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih)
Apabila seorang wanita mengeluarkan darah tidak pada masa haidnya yang biasa terjadi dan ia mendapati jumlahnya lebih banyak, maka hendaklah ia mandi janabat setelah darah itu berhenti. Karena, ada kemungkinan keluarnya darah itu adalah sebagai masa haidnya.
Wanita yang baru menjalani masa haid
Wanita muslimah yang baru pertama kali menjalani masa haid akan lebih berhati-hati, dimana mereka sebaiknya menahan diri selama satu hari satu malam, lalu mandi dan berwudhu' pada setiap kali hendak mengerjakan shalat. Apabila darah haidnya itu berhenti pada hari kelima belas, maka hendaklah ia mandi pada hari berhenti mengalirnya darah tersebut. Demikianlah yang seharusnya dilakukan pada masa haid kedua dan ketiga kalinya.
Jumlah hari dari masa haid yang dapat dijadikan sebagai kebiasaan untuk ditetapkan adalah sekali. Yaitu, apabila seorang wanita biasa menjalani masa haidnya itu tiga hari pada setiap bulannya. Lalu ia mendapati masa haidnya berlangsung selama lima hari pada bulan yang lain. Maka ketetapan dari masa haidnya yang berlaku adalah tiga hari, seperti pada bulan yang pertama. Akan tetapi, apabila keluarnya darah haid itu sampai pada bulan yang ketiga adalah selama lima hari, maka yang menjadi ketentuan dari masa haidnya adalah lima hari. Sedang apabila kebiasaan dari masa haidnya itu lima hari, kemudian di tengah-tengah dari kelima hari tersebut ia mendapati satu hari keluar dan satu hari yang lain berhenti, maka kesemuanya itu tetap terhitung sebagai masa haid, sehingga selesai pada yang hari kelima. Adapun darah yang keluar setelah hari kelima adalah istihadhah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa seorang istri yang mengalami masa istihadhah secara mutlak boleh disetubuhi oleh suaminya, tanpa adanya syarat apapun. Ini merupakan pendapat mayoritas dari fuqaha'. Seperti diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ikrimah, dari Harnah binti Jahsyin, dimana ia pernah mengalami istihadhah, sedang suaminya bersetubuh dengannya.
Demikian juga halnya dengan Ummu Habibah, dimana ia juga pernah mengalami istihadhah dan suaminya pun menggaulinya. Hamnah adalah isteri dari Thalhah, sedangkan Ummu Habibah adalah isteri dari Abdurrahman bin 'Auf.
Kedua wanita ini pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hukum wanita yang mengalami istihadhah. Seandainya pada saat itu (melakukan hubungan badan) diharamkan, maka pasti beliau akan menjelaskan kepada keduanya.
Wanita yang mengalarni istihadhah juga diharuskan berpuasa dan mengerjakan shalat selama istihadhah itu berlangsung. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi bin Tsabit, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
"Ia meninggalkan shalat selama hari haidnya, kemudian mandi, berpuasa dan mengerjakan shalat serta berwudhu' pada setiap hendak menunaikan shalata." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Sedangkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia menceritakan:
"Hathimah binti Abi Jahsyin ia pernah datang kepada Nabi. Seraya menceritakan apa yang tengah dialaminya. Maka beliau bersabda: Mandilah, kemudian berwudhu' pada setiap hendak menunaikan shalat." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Karena darah itu keluar melalui kemaluan sehingga membatalkan wudhu', maka hukumnya sama dengan madzi. Akan tetapi yang lebih baik adalah berwudhu' ketika datang waktu shalat. Karena, ada kemungkinan darah tersebut dapat keluar sewaktu-waktu, hingga dapat membatalkan wudhu'. Sebab, hadats yang keluar melalui kemaluan dapat membatalkan wudhu'.
Menjama' antara dua shalat
Bagi wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan menjama' antara dua shalat dengan satu kali wudhu'. Karena, Nabi pernah memerintahkan kepada Hamnah binti Jahsy untuk menjama antara dua shalat dengan satu kali bersuci. Hal ini diqiyaskan bagi para wanita yang mengalami istihadhah.
Usia minimal keluarnya darah haid
Usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah
sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid. Artinya tidak berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah haid. Karena tidak ada ketetapan hukum yang mengatur bahwa seorang wanita mampu (dapat) menjalani masa haid sebelum usia tersebut. Telahdiriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, di mana ia berkata:
"Apabila seorang anak wanita mencapai usia sembilan tahun, maka
ia sudah termasuk perempuan (memasuki usia baligh)." (HR. Tirmidzi)
Usia maksimal keluarnya darah haid
Usia maksimal seorang wanita dalam menjalani masa haidnya adalah
lima puluh tahun. Oleh karena itu, apabila melihat keluarnya darah melalui kemaluan setelah usia lima puluh tahun, maka dalam hal ini ada dua penjelasan:
Pertama, hal itu dianggap sebagai proses sirkulasi darah yang mengalami kerusakan. Karena, Aisyah pernah menceritakan: "Apabila seorang wanita telah mencapai usia lima puluh tahun, maka ia sudah tidak mengalami masa haid lagi."
Kedua, apabila darah tersebut mengalir secara berulang-ulang, maka ia termasuk darah haid. Inilah pendapat yang lebih benar. Sebab, hal itu tidak jarang ditemukan di kalangan kaum wanita. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Hindun binti 'Ubaidah bin Abdillah bin Zam'ah melahirkan Musa bin Abdillah bin Hasan bin Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhu pada usia enam puluh tahun.
Sementara Ibnu Bakar mengatakan: "Bahwa wanita yang telah berusia
lima puluh tahun tidak akan melahirkan, kecuali pada wanita-wanita bangsa Arab dan wanita yang telah berusia enam puluh tahun tidak akan melahirkan, kecuali wanita Quraisy. Wanita non-Arab merasa putus asa pada usia lima puluh tahun, sedangkan wanita Arab masih melahirkan sampai pada usia enam puluh tahun. Karena, mereka jauh lebih kuat dari sisi fisik untuk dapat melahirkan.